Pengawasan sertifikasi halal diatur didalam Bab VII pada Pasal 49 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal juncto Pasal 75 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal yang menyatakan bahwa BPJPH melakukan pengawasan terhadap JPH.
Terkait dengan objek yang diawasi telah diuraikan di dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal yaitu:
a. LPH;
b. Masa berlaku sertifikat halal;
c. Kehalalan produk;
d. Pencantuman label halal;
e. Pencantuman keterangan tidak halal;
f. Pemisahan lokasi, tempat, dan alat penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, serta penyajian antara produk halal dan tidak halal;g. Keberadaan Penyelia Halal;
h. Kegiatan lain yang berkaitan dengan JPH.
Lembaga yang berwenang melakukan pengawasan sertifikasi halal adalah BPJPH, baik secara mandiri atau dengan kementerian terkait, lembaga terkait dan atau pemerintah daerah sesuai dengan tugas dan fungsinya. Hal ini diatur dalam Pasal 75 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
Pengawasan pelaksanaan sertifikasi halal terhadap Rumah Potong Hewan memerlukan kerjasama dari BPJPH, masyarakat dan juga pelaku usaha. Penegakan preventif sertifikasi halal RPH dapat berupa pengawasan terhadap perlindungan konsumen, karena adanya sertifikasi halal adalah bentuk perlindungan konsumen.
Hal tersebut diatur di dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa: “Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat”.
Di dalam Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dijelaskan bahwa pengawasan oleh pemerintah dilakukan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait. Pada Pasal 30 ayat (3), pengawasan oleh masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar.
Begitu pula dengan pelaku usaha. Pelaku usaha dapat melakukan pengawasan terhadap proses penyembelihan hewan yang terdapat pada usahanya, dengan memastikan bahwa penyembelihannya sudah sesuai syariat dan sudah sesuai dengan peraturan yang ada. Diharapkan dengan adanya kerjasama dari berbagai pihak ini akan meningkatkan pelaksanaan sertifikasi halal.
Dalam konteks ini pihak yang berpotensi melanggar ketentuan dalam peraturan perundang-undangan adalah pelaku usaha yaitu Rumah Potong Hewan. RPH yang tidak memenuhi kewajibannya menimbulkan pelanggaran hak bagi konsumen.
Rumah Potong Hewan yang tidak melakukan sertifikasi halal artinya dia tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana yang telah ditetapkan di dalam peraturan perundang-undangan, sehingga diperlukan adanya penegakan hukum berupa pemberian sanksi agar pelaku usaha jera dan tidak melakukan perbuatannaya lagi.
Pemberian sanksi tersebut bertujuan untuk menghentikan pelanggaran atau memulihkan pada keadaan semula.Pelaku usaha yang tidak melakukan kewajibannya akan dikenai sanksi administratif, sanksi perdata dan sanksi pidana.
Pemberian sanksi administratif diatur di dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal yang menyatakan bahwa apabila pelaku usaha tidak melakukan kewajibannya sebagaimana telah diatur di dalam Pasal 25 dan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal akan dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis, denda administratif atau pencabutan sertifikat halal.
Namun di dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, menyebutkan bahwa pelaku usaha yang melanggar ketentuan daam peraturan perundang-undangan hanya dikenai sanksi administratif, tidak diuraikan mengenai bentuk sanksinya.
Sanksi administratif diatur pula di dalam Pasal 60 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen bahwa BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) berwenang menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar beberapa pasal didalam undang-undang tersebut. Sanksi perdata yang diterima oleh pelaku usaha adalah dengan pemberian ganti rugi terhadap konsumen yang dirugikan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Konsumen yang dirugikan juga dapat melakukan gugatan kepada pelaku usaha berdasarkan Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Sanksi pidana juga diberikan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran atas ketentuan di dalam undang-undang. Hal tersebut diatur di dalam Pasal 61, Pasal 62 dan Psal 63 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen juncto Pasal 56 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.