Hal kedua yang menjamin kehalalan suatu produk dalam mekanisme self declare ini adalah konsistensi aturan Kepkaban No.33/2022 dengan pasal 79 ayat 2 PP No.39 /2021. Diketahui Self Declare berlaku bagi pelaku Usaha Mikro Kecil yang memenuhi kriteria produk yang tidak berisiko atau menggunakan bahan yang sudah dipastikan kehalalannya dan proses produksi yang sederhana.
Di dalam Kepkaban No. 33/2022 ada sejumlah jenis dan rincian produk (ada 14 kategori produk) yang sudah disepakati mengandung resiko rendah dalam proses sertifikasi halal. Artinya hanya produk-produk yang masuk klasifikasi itulah yang boleh mengajukan sertifikat halal melalui mekanisme self declare.
Hal ketiga yakni kompetensi teknis pendamping PPH. Pada PP No. 39 tahun 2021 pasal 79 ayat 4 dinyatakan bahwa keberadaan pendampingan PPH pada kegiatan Self Declare ini wajib ada. Pendampingan PPH yang dimaksud yaitu Ormas Islam atau Lembaga keagamaan Islam yang berbadan hukum dan atau perguruan tinggi (Pasal 80, PP No. 39/2021), sementara pendamping PPH adalah personal yang mendampingi pelaku usaha.
Kepkaban No.135-2021 tidak mempersyaratkan kompetensi teknis pendamping PPH, melainkan minimal lulusan SMA atau sederajat sebagai persyaratan untuk mengikuti pelatihan pendamping PPH. Pendamping PPH seyogyanya adalah personal yang melakukan verifikasi atau audit. Pelatihan 10 jam teori dan 10 jam praktik tanpa persyaratan latar belakang pendidikan yang sesuai, tentunya belum cukup untuk menghasilkan kompetensi teknis yang dibutuhkan sebagai pendamping PPH, terutama jika skema Self Declare yang diberlakukan berdasarkan Kepkaban No. 33/2022
Slogan Halal itu mudah, sangat indah, dan inspiratif. Selain itu titah mengkonsumsi suatu yang halal adalah bagian dari kewajiban menjalankan syariah-Nya bagi konsumen Muslim. Seyogyanya pemerintah harus mampu menjaminnya dengan mempertimbangkan faktor tersebut di atas agar kasus halal-haram di Indonesia yang pernah terjadi (halal fraud, red) tidak terulang kembali.