2 Resiko Sertifikat Halal Gratis

Tantangan Penyelenggaraan Program Sehati Pemberian sertifikasi halal gratis untuk memberikan kemudahan bagi UMK dapat menimbulkan dampak yang perlu dianalisa. Lahirnya berbagai regulasi mengenai system JPH tidaklah menjamin keberhasilan penyelenggaraan sertifikasi halal gratis. Analisa ini didasarkan dengan target pemerintah untuk keseluruhan UMK dengan keterbatasan jangkuan UMK melalui program sehati, dan target besar yang ingin dicapai tahun 2024.

Kewajiban sertifikasi halal tanpa adanya sanksi hukum menimbulkan kekosongan hukum yang menjadikan tidak maksimalnya upaya tersebut ketika diterapkan bagi pelaku UMK. Pemerintah Indonesia mengandalkan program Sehati untuk mempercepat sertifikasi halal. Namun dengan keterbatasan kewenangan yang ada mengacu pada pasal 81 menimbulkan keraguan untuk tercapainya tujuan menjadi pusat produsen produk halal dunia di tahun 2024.

Berikut adalah beberapa risiko bagi pemerintah dan konsumen berkaitan dengan pemberian program sertifikasi halal gratis:

1. Kemapuan Anggaran Negara Berdasarkan ketentuan Pasal 81 PP No.39/2021, seluruh program sehati bersumber dari keuangan negara dan dibantu dengan instansi kementerian pemerintah. Jika melihat data biaya sertifikasi halal bagi UMK yang harus dibayarkan oleh pemerintah berkisar dari Rp 300.000 – 500.000 berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No.57/PMK.05/2021 Tentang Tarif Layanan Umum Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal Pada Kementerian Agama. Melihat jumlah pelaku UMK di Indonesia sebesar 65,471,134 unit usaha X Rp. 300.000 = 19 Trilliun jumlah anggaran yang harus dikeluarkan untuk menanggung sertifikasi halal. Selain itu pemerintah juga menanggung biaya dari perpanjangan sertifikat halal pelaku UMK (Pasal 5 PMK No.57). Pemberian layanan sehati akan memberikan beban anggaran yang besar pada negara, hal ini belum ditambah dengan adanya indikasi penambahan pelaku UMK di Indonesia yang setiap tahunnya selalu bertambah. Perlunya pengkajian lebih mendalam bagi pemerintah untuk memperhitungkan perencanaan anggaran untuk program sehati.

2. Resiko Jaminan Halal Perkembangan perekonomian yang dipengaruhi oleh arus globalisasi dunia memberikan permasalahan-permasalahan baru. Tidak dapat dipungkiri, berbagai produk beredar disekitar, namun konsumen masih belum mengetahui apakah barang tersebut halal atau haram. Apalagi umat Islam mempunyai kewajiban sesuai dengan tuntutan syariah untuk mengkonsumsi segala sesuatu yang halal sesuai dengan firman Allah dalam Q.S Al Baqarah ayat 168. Ayat tersebut memerintahkan untuk mengkonsumsi produk halal yang saat ini tidak terbatas pada makanan dan minuman.

Dalam konteks pemberian sertifikasi halal melalui program Sehati, pelaku UMK tidak melakukan pemeriksaan produk oleh LPH. Standar kehalalan hanya didasarkan pada penyataan halal (Pasal 2 PMA No.20/2021). Pernyataan halal ditulis oleh pelaku UMK berdasarkan kriteria yang dibuat oleh BPJPH dengan adanya validasi oleh pendamping PPH (Pasal 2). Setelah proses tersebut maka, hasil dari pernyataan tersebut diteruskan kepada komite fatwa Kemenag RI yang sebelumnya oleh komite fatwa MUI untuk dikeluarkan fatwa halal.

Proses sertifikasi halal melalui program sehati menimbulkan keraguan mengenai produk yang dinyatakan halal dengan sendirnya oleh pelaku UMK. Pernyataan halal yang secara mandiri yang dilakukan oleh pelaku UMK merupakan sikap yang menyatakan bahwa produk yang dikelola benar-benar halal. Produk halal tidak hanya menjadi kebutuhan konsumsi masyarakat melainkan juga merupakan sarana untuk mendapatkan hak spiritualitas. Resiko yang dimungkinkan muncul adalah kualitas mengenai produk yang dihasilkan melalui jalur penyataan halal yang masih bisa diragukan kehalalannya. Hal ini disebabkan, pelaku UMK tidak melakukan proses pemeriksaan secara langsung dan ketat oleh Lembaga Pemeriksa Halal. Melainkan hanya mengandalkan pemeriksaan yang dilakukan oleh pendamping PPH dengan keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki masing-masing individu.

Open chat
1
Halo...
Ada yang bisa dibantu?